Islam agama yang disempurnakan dan agama yang indah yang mana tidak memberatkan penganutnya dalam berbagai hal sendi kehidupan termasuk juga dalam urusan duniawi seperti asuransi, namun dengan banyaknya kebutuhan manusia dan tumbuh berkembangnya suatu usaha membuat asuransi tak luput dari yang namanya hukum islam. Asuransi jiwa dalam dunia bisnis dianggap sebagai solusi penjaminan resiko terhadap diri sendiri dengan membayar biaya tertentu yang nantinya akan di berikan jika kita mengalami hal yang tidak baik. namun apakah pandangan Islam terhadap asuransi jiwa?
Mengkaji hukum asuransi menurut syar’iat islam sudah tentu dilkukan dengan menggunakan metode-metode ijtihad yang lazim digunakan oleh para ulama Ijtihad dahulu. Dan diantara metode ijtihad yang mempunyai banyak peranan didalam meng-istimbath-kan hukum tehadap masalah-masalah baru yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits adalah maslahah mursalah atau istilah dan qiyas, untuk dapat memakai maslahah mursalah dan qiyas sebagai landasan hukum (dalil syar’i) harus memenuhi syarat dan rukunnya. Misalnya maslahah mursalah baru bisa dipakai sebagai landasan hukum jika:
1. Kemaslahatannya benar-benar nyata, tidak hanya asumtif atau hipotesis saja.
2. Kemaslahatannya harus bersifat umum, tidak hanya untuk kepentingan atau kebaikan perorangan.
3. Tidak bertentangan dengan nash Al Qur’an dan Hadits.
Demikian pula pemakaian qiyas sebagai landasan hukum harus memenuhi syarat dan rukunnya. Diataranya yang paling penting adalah adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum). Antara masalah baru yang sedang dicari hukumnya dengan masalah pokok yang sudah ditetapkan hukumnya.
Masalah khilafiyah ada pro dan kontra tentang asuransi. Seorang muslim harus bijaksana menghadapi masalah khilafiyah seperti masalah asuransi. Ia harus memilih salah satu dari pendapat-pendapat ulama tersebut diatas yang dipandangnya paling kuat dalil atau argumentasinya, baik pendapat yang dipilihnya itu ringan ataupun berat untuk dilaksanakan bagi dia sendiri. Ia harus meninggalkan pendapat yang dipandang masih meragukan. Namun ia harus bersikap toleran terhadap sesama muslim yang berbeda pendapatnya. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi dari Ibnu Umar
اختلاف امتى رحمة
Artinya” Perbedaan umatku itu rahmat”
Yang dimaksud dengan perbedaan umat menjadi rahmat adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah agama yang bersifat furu’iyah (cabang), bukn masalah ushuliyah (pokok-pokok ajaran islam).
Pendapat kedua yang membolehkan semua asuransi didalam prakteknya sekarang ini termasuk asuransi jiwa, selain alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas, dapat diperkuat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan kaidah hukum islam
الاصل فى العقود الاباحة حتى يدل الدليل على تحريمها
Pada prinsipnya, pada akad-akad itu boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya. Bahkan terdapat ayat dan hadits yang memberikan isyarat atau indikasi kehalalan asuransi jiwa, yakni Al Qur’an surat Annisa: 8 dan hadits Nabi riwayat Al Bukhori dan Muslim. Dari Said bin Abu Waqos
انك ان تذر ورثتك اغنياء خير من ان تذرهم عالة يتعففون الناس
Artinya” Sesungguhnya lebih baik bagimu meninnggalkan ahli warismu, dalam keadaan kecukupan dan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak.
2. Sesuai dengan tujuan pokok hukum islam:
Untuk menarik atau mencari kemaslahatan dan menghindari kerusakan atau kerugian. لجلب المصلحة ودفع المفسدة
3. Sesuai dengan kaidah hukum islam.
اذاتعارض ضران فضل اخفهما
4. Asuransi tidak sama dengan judi (gambling) karena asuransi bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial dan membawa maslahah bagi keluarga, sedangkan judi justru menciptakan resiko, tidak sosial dan bisa membawa malapetaka bagi yang terkait dan keluaraga.
5. Asuransi sudah diperhitungkan secara mamematik untung dan ruginya, bagi perusahaan asuransi dan bagi para pemegang polisnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan secara mutlak (berdasarkan ilmu akultuariya).
6. Sesuai dengan asas dan prinsip hukum islam: meniadakan kesempitan dan kesukaran dan hidup bergotong-royong, namun mengingat kenyataan masih adanya berbagai dengan asuransi jiwa dikalangan ulama cendekiawan muslim, maka sesuai dengan kaidah hukum islam.
الخروج من الخلاف مستحب
Keluar atau menghindari dari perbedaan pendapat itu disunnahkan.
Salah satu jenis asuransi yang haram dan banyak digunakan saat ini adalah ;
Asuransi Bisnis atau Niaga, adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain
Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :
َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
” Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787 )
Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang, juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Maidah: 90).
Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para ulama.
Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur rihan ( taruhan ) yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :
لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ
“ Tidak ada perlombaan kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )
Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.
Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).
Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.
Baca juga Cara membuka aura kecantikan secara Islami
Mengkaji hukum asuransi menurut syar’iat islam sudah tentu dilkukan dengan menggunakan metode-metode ijtihad yang lazim digunakan oleh para ulama Ijtihad dahulu. Dan diantara metode ijtihad yang mempunyai banyak peranan didalam meng-istimbath-kan hukum tehadap masalah-masalah baru yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits adalah maslahah mursalah atau istilah dan qiyas, untuk dapat memakai maslahah mursalah dan qiyas sebagai landasan hukum (dalil syar’i) harus memenuhi syarat dan rukunnya. Misalnya maslahah mursalah baru bisa dipakai sebagai landasan hukum jika:
1. Kemaslahatannya benar-benar nyata, tidak hanya asumtif atau hipotesis saja.
2. Kemaslahatannya harus bersifat umum, tidak hanya untuk kepentingan atau kebaikan perorangan.
3. Tidak bertentangan dengan nash Al Qur’an dan Hadits.
Demikian pula pemakaian qiyas sebagai landasan hukum harus memenuhi syarat dan rukunnya. Diataranya yang paling penting adalah adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum). Antara masalah baru yang sedang dicari hukumnya dengan masalah pokok yang sudah ditetapkan hukumnya.
Masalah khilafiyah ada pro dan kontra tentang asuransi. Seorang muslim harus bijaksana menghadapi masalah khilafiyah seperti masalah asuransi. Ia harus memilih salah satu dari pendapat-pendapat ulama tersebut diatas yang dipandangnya paling kuat dalil atau argumentasinya, baik pendapat yang dipilihnya itu ringan ataupun berat untuk dilaksanakan bagi dia sendiri. Ia harus meninggalkan pendapat yang dipandang masih meragukan. Namun ia harus bersikap toleran terhadap sesama muslim yang berbeda pendapatnya. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi dari Ibnu Umar
اختلاف امتى رحمة
Artinya” Perbedaan umatku itu rahmat”
Yang dimaksud dengan perbedaan umat menjadi rahmat adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah agama yang bersifat furu’iyah (cabang), bukn masalah ushuliyah (pokok-pokok ajaran islam).
Pendapat kedua yang membolehkan semua asuransi didalam prakteknya sekarang ini termasuk asuransi jiwa, selain alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas, dapat diperkuat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan kaidah hukum islam
الاصل فى العقود الاباحة حتى يدل الدليل على تحريمها
Pada prinsipnya, pada akad-akad itu boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya. Bahkan terdapat ayat dan hadits yang memberikan isyarat atau indikasi kehalalan asuransi jiwa, yakni Al Qur’an surat Annisa: 8 dan hadits Nabi riwayat Al Bukhori dan Muslim. Dari Said bin Abu Waqos
انك ان تذر ورثتك اغنياء خير من ان تذرهم عالة يتعففون الناس
Artinya” Sesungguhnya lebih baik bagimu meninnggalkan ahli warismu, dalam keadaan kecukupan dan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak.
2. Sesuai dengan tujuan pokok hukum islam:
Untuk menarik atau mencari kemaslahatan dan menghindari kerusakan atau kerugian. لجلب المصلحة ودفع المفسدة
3. Sesuai dengan kaidah hukum islam.
اذاتعارض ضران فضل اخفهما
4. Asuransi tidak sama dengan judi (gambling) karena asuransi bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial dan membawa maslahah bagi keluarga, sedangkan judi justru menciptakan resiko, tidak sosial dan bisa membawa malapetaka bagi yang terkait dan keluaraga.
5. Asuransi sudah diperhitungkan secara mamematik untung dan ruginya, bagi perusahaan asuransi dan bagi para pemegang polisnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan secara mutlak (berdasarkan ilmu akultuariya).
6. Sesuai dengan asas dan prinsip hukum islam: meniadakan kesempitan dan kesukaran dan hidup bergotong-royong, namun mengingat kenyataan masih adanya berbagai dengan asuransi jiwa dikalangan ulama cendekiawan muslim, maka sesuai dengan kaidah hukum islam.
الخروج من الخلاف مستحب
Keluar atau menghindari dari perbedaan pendapat itu disunnahkan.
Salah satu jenis asuransi yang haram dan banyak digunakan saat ini adalah ;
Asuransi Bisnis atau Niaga, adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain
Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :
َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
” Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787 )
Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang, juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Maidah: 90).
Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para ulama.
Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur rihan ( taruhan ) yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :
لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ
“ Tidak ada perlombaan kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )
Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.
Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).
Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.
Baca juga Cara membuka aura kecantikan secara Islami