Siapa yang tidak kenal dengan Joyoboyo dengan kita nya yang sangat terkenal seantero Nusantara dan juga manca negara yang mana mengisahkan sebuah perjalanan suci jaman awal sampai jaman keemasan khususnya Pulau Jawa dan juga akhir dunia alias Kiamat. bahkan masih dalam perebatan sengit para pelaku spiritual dan juga ahli sejarah tentang kebenaran dari Ramalan ini.
PENULIS RAMALAN JAYABAYA
Perlu diketahui, Ramalan Jayabaya merupakan kumpulan ramalan yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Ramalan yang sering disebut dengan istilah Jangka Jayabaya (baca: jongko joyoboyo) tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hasil karya pujangga yang memiliki akurasi tinggi dalam menggambarkan jaman dan kondisi masa depan yang diprediksi. Dengan kata lain sejumlah ‘orang Jawa’ sangat mempercayai ketepatan dan kesesuaian Jangka Jayabaya dalam menggambarkan masa depan.
Jangka Jayabaya memiliki banyak versi, minimal ada 9 (sembilan) macam versi. Umumnya kitab-kitab tentang ramalan Jayabaya tersebut merupakan hasil karya abad XVII atau XIX Masehi. Dari beragam versi Jangka Jayabaya tersebut, secara substansial kebanyakan memiliki kesamaan ide dan gagasan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan beragam versi tersebut sebenarnya mengambil dari sebuah sumber induk yang sama yaitu kitab yang disebut Musarar atau Asrar. Oleh karena itulah maka penulis memutuskan untuk membatasi kajian ini berdasarkan Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya saja. Kitab diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (baca: Ronggowarsito).[1] Serat Pranitiwakya ini dapat dikatakan mewakili ramalan Jayabaya dalam wujud yang bersifat lebih ringkas.
Mungkin kita ada yang tidak tahu, apa isi kitab Joyoboyo ini yang membuat dunia geger? Kita simak dari awal dulu. Dalam ramalan Jangka Jayabaya yang diramalkan oleh Prabu Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ramalan tiga terakhir yakni Zaman Kalisengoro artinya jaman air yang lamannya kurang lebih 700 tahun suryo mulai periode Pakubuwono IV hingga kiamat kubro.
"Kalasengoro atau periode penghabisan dari Trikala adalah gambaran Indonesia saat ini. Dan semua sudah dijelaskan oleh Prabu Jayabaya dalam kitab-kitab kuno yang masih menggunakan huruf kawi. Zaman
Kalangsengoro ini dibagi menjadi Sapto Maloko atau tujuh jaman yang periodesasinya masing-masing 100 tahun," kata Ki Tuwu, ahli sejarah Kediri pada merdeka.com.
Yang pertama adalah zaman Kolodjonggo yang berarti zaman kembang gadung, dalam zaman ini orang hanya mementingkan dirinya seniri, egois. Yakni dimulai dari Raja Hadiwijaya (Jaka Tingkiri) hingga Penembahan Senopati dari tahun surya 1401-1500.
Kedua, Zaman Kalasekti, atau zaman kuasa, di zaman ini orang berebut kekuasaan. Mulai dari Sinuhun Sedo Krapyak hingga Amangkurat III yaitu di tahun suryo 1501-1600.
Ketiga, Zaman Kalijodo yang berarti zaman unggul, di mana di tanah Jawa banyak orang unggul di antara yang lainnya dan banyak orang gila hormat. Mulai Raja Amangkurat IV di Kartosuro hingga Sultan Pakubuwono ke IV di Surakarta yaitu tahun surya 1601-1700.
Keempat, zaman Kalabendu atau zaman sengsara dan angkara murka, di mana banyak orang Jawa lupa akan Jawa-nya dan banyak orang menderita. Periodesasi ini dimulai dari Pakubuwono ke IV yakni tahun surya 1701-1800.
Kelima, Zaman Kalasubo, zaman sukariya, di mana di tanah Jawa banyak orang bersuka cita dan hidup berbahagia, mulai dari Raja Herucokro ke-1 sampai ke-III yaitu mulai tahun 1801-1900.
Keenam, Zaman Kalasumbaga, yang artinya zaman tersohor, di mana banyak orang Jawa yang mengejar ilmu pengetahuan, memperluas pelajaran dan mengutamakan kepandaian. Banyak tokoh-tokoh pergerakan yang lahir dan membuktikan diri di awal abad ke-19. Periodesasi ini dimulai dari tahun surya 1901-2000.
Ketujuh, Zaman Kalasuroto, yang berarti zaman halus, di mana di tanah Jawa banyak orang yang manis budi, dan lemah lembut yang dimulai pada tahun surya 2001-2100. Dan sehabis itu ganti zaman yang dalam ramalan Jangka Jayabaya bakal disebut akan menemui 'Kiamat Kubro.'
PENULIS RAMALAN JAYABAYA
Perlu diketahui, Ramalan Jayabaya merupakan kumpulan ramalan yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Ramalan yang sering disebut dengan istilah Jangka Jayabaya (baca: jongko joyoboyo) tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hasil karya pujangga yang memiliki akurasi tinggi dalam menggambarkan jaman dan kondisi masa depan yang diprediksi. Dengan kata lain sejumlah ‘orang Jawa’ sangat mempercayai ketepatan dan kesesuaian Jangka Jayabaya dalam menggambarkan masa depan.
Jangka Jayabaya memiliki banyak versi, minimal ada 9 (sembilan) macam versi. Umumnya kitab-kitab tentang ramalan Jayabaya tersebut merupakan hasil karya abad XVII atau XIX Masehi. Dari beragam versi Jangka Jayabaya tersebut, secara substansial kebanyakan memiliki kesamaan ide dan gagasan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan beragam versi tersebut sebenarnya mengambil dari sebuah sumber induk yang sama yaitu kitab yang disebut Musarar atau Asrar. Oleh karena itulah maka penulis memutuskan untuk membatasi kajian ini berdasarkan Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya saja. Kitab diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (baca: Ronggowarsito).[1] Serat Pranitiwakya ini dapat dikatakan mewakili ramalan Jayabaya dalam wujud yang bersifat lebih ringkas.
Mungkin kita ada yang tidak tahu, apa isi kitab Joyoboyo ini yang membuat dunia geger? Kita simak dari awal dulu. Dalam ramalan Jangka Jayabaya yang diramalkan oleh Prabu Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ramalan tiga terakhir yakni Zaman Kalisengoro artinya jaman air yang lamannya kurang lebih 700 tahun suryo mulai periode Pakubuwono IV hingga kiamat kubro.
"Kalasengoro atau periode penghabisan dari Trikala adalah gambaran Indonesia saat ini. Dan semua sudah dijelaskan oleh Prabu Jayabaya dalam kitab-kitab kuno yang masih menggunakan huruf kawi. Zaman
Kalangsengoro ini dibagi menjadi Sapto Maloko atau tujuh jaman yang periodesasinya masing-masing 100 tahun," kata Ki Tuwu, ahli sejarah Kediri pada merdeka.com.
Yang pertama adalah zaman Kolodjonggo yang berarti zaman kembang gadung, dalam zaman ini orang hanya mementingkan dirinya seniri, egois. Yakni dimulai dari Raja Hadiwijaya (Jaka Tingkiri) hingga Penembahan Senopati dari tahun surya 1401-1500.
Kedua, Zaman Kalasekti, atau zaman kuasa, di zaman ini orang berebut kekuasaan. Mulai dari Sinuhun Sedo Krapyak hingga Amangkurat III yaitu di tahun suryo 1501-1600.
Ketiga, Zaman Kalijodo yang berarti zaman unggul, di mana di tanah Jawa banyak orang unggul di antara yang lainnya dan banyak orang gila hormat. Mulai Raja Amangkurat IV di Kartosuro hingga Sultan Pakubuwono ke IV di Surakarta yaitu tahun surya 1601-1700.
Keempat, zaman Kalabendu atau zaman sengsara dan angkara murka, di mana banyak orang Jawa lupa akan Jawa-nya dan banyak orang menderita. Periodesasi ini dimulai dari Pakubuwono ke IV yakni tahun surya 1701-1800.
Kelima, Zaman Kalasubo, zaman sukariya, di mana di tanah Jawa banyak orang bersuka cita dan hidup berbahagia, mulai dari Raja Herucokro ke-1 sampai ke-III yaitu mulai tahun 1801-1900.
Keenam, Zaman Kalasumbaga, yang artinya zaman tersohor, di mana banyak orang Jawa yang mengejar ilmu pengetahuan, memperluas pelajaran dan mengutamakan kepandaian. Banyak tokoh-tokoh pergerakan yang lahir dan membuktikan diri di awal abad ke-19. Periodesasi ini dimulai dari tahun surya 1901-2000.
Ketujuh, Zaman Kalasuroto, yang berarti zaman halus, di mana di tanah Jawa banyak orang yang manis budi, dan lemah lembut yang dimulai pada tahun surya 2001-2100. Dan sehabis itu ganti zaman yang dalam ramalan Jangka Jayabaya bakal disebut akan menemui 'Kiamat Kubro.'